Adakah Pemimpin Alternatif Untuk Pemilu 2009?
Nampaknya para calon presiden independen tidak punya kesempatan lagi untuk bisa bertarung di pemilihan umum (pemilu) 2009 ini, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan mereka. Apakah itu artinya tidak ada lagi calon alternative lain selain tokoh-tokoh lama yang telah mulai menjajakkan dirinya? Mungkinkah calon alternative tersebut lahir dari partai politik (parpol)?
Kita memang khawatir jika pemilu tahun ini tidak mampu melahirkan pemimpin alternative. Yang kuasa untuk menentukan calon pemimpin tersebut adalah partai politik yang meraih paling sedikit 25 % perolehan suara nasional. Artinya masyarakat tinggal menunggu parpol yang punya kemauan untuk mengusung pemimpin-pemimpin alternative tersebut.
Seperti permainan sepak bola, pemenang ditentukan dari tim mana yang mencetak gol terbanyak setelah peluit panjang babak kedua (terakhir). Begitu juga dengan pemilu, tidak ada satu parpolpun, baik parpol penguasa, oposisi, lebih-lebih parpol baru yang berani memastikan kemenangannya untuk pemilu 2009. Semuanya memang punya target, namun pemenang akan ditentukan setelah penghitungan suara hasil pilihan rakyat.
Saat ini beberapa parpol telah memasang calon presidennya, yang diyakini akan mampu mendongkrak pemilih untuk memberikan pilihannya kepada parpol tersbut. Sayangnya, nama-nama yang muncul tersebut adalah wajah-wajah lama dalam dunia politik kita yang juga diindikasikan gagal dalam memimpin maupun yang terlibat dalam pergumulan politik orde baru. Seperti Megawati dari PDIP, Susilo Bambang Yudoyono dari Demokrat, Wiranto dari Hanura dan Prabowo dari Gerindra.
Melihat daftar mereka, tentu belum bisa memompa semangat sebagian kita untuk menentukan siapa pemimpin kita 5 tahun kedepan. Sementara itu, Golkar sebagai pemenang pemilu tahun 2004 juga kelihatan ragu-ragu untuk segera mendeklarasikan Capresnya. Ada sinyal jika Capres Golkar diumumkan sebelum pemilu, akan rawan dengan konflik elit internalnya, yang sudah pasti akan berpengaruh di akar rumput partai beringin tersebut. Karena saat ini Golkar yang mengklaim memiliki banyak tokoh nampaknya belum satu suara untuk capresnya, bahkan di antara mereka sedang sama-sama punya niatan untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini. Seperti Yusuf Kalla, Sultan Hamengkubuwono, Surya Paloh, Akbar Tanjung, dan Fadel Muhammad.
Jika partai-partai besar ini tidak mampu menyajikan pemimpin alternative, maka partai menengah ke bawah harus berani membentuk koalisi untuk menghadirkan sesegera mungkin figure yang bisa diharapkan membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik. Namun, sangat disadari bahwa pemimpin alternative bukan berarti tidak punya hambatan. Mengingat dari beberapa hasil survey bahwa pemilih rasional tersebut ada di perkotaan yang jumlahnya lebih kecil dari pemilih tradisional. Sedangkan pemimpin alternative sangat bergantung pada pemilih rasional.
Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi calon pemimpin alternative untuk segera mungkin melakukan sosialisasi ke seluruh elemen masyarakat. Namun jika sampai saat ini saja mereka belum muncul, maka membutuhkan strategi yang mumpuni jika mereka muncul setelah pemilu nanti. Misalnya melakukan koalisi dengan calon pemimpin lama, sehingga terbentuk sebuah kombinasi yang strategis untuk mengakomodir antara pemilih rasional dengan pemilih tradisional.
Bagaimana dengan partai-partai Islam, apakah berani menampilkan pemimpin alternative tersebut? Nampaknya sampai saat ini hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Matahari Bangsa (PMB) yang berani menawarkan pemimpin alternative. PKS punya sikap untuk melahirkan pemimpin alternative yang akan ditentukan setelah pemilu legislative 2009. Penentuan tersebut akan diambil jika perolehan suaranya mencapai 20 %. Sudah ada 8 nama yang disiapkan oleh PKS, di antaranya Hidayat Nur Wahid, Tifatul Sembiring, Anis Matta dan beberapa tokoh internal lainnya yang kesemuanya di bawah umur 50 tahun. Sedangkan PMB mengusung tokoh Muhammadiyah, Din Syamsudin untuk calon presidennya.
Nama-nama tersebut memberikan angin segar bagi yang mengharapkan pemimpin alternative untuk menjadi pemimpin bangsa ini. Namun, sekali lagi selain mereka harus memperoleh suara minimal 25 %, juga harus berani membangun koalisi strategis seperti yang disebutkan di atas. Karena bagaimanapun juga, pemimpin baru saja tidak cukup tanpa diimbangi dengan kekuatan pendukung di parlemen.
Koalisi setengah hati
Belajar dari koalisi pemerintahan saat ini, untuk pemilu tahun 2009 model seperti ini tidak boleh terjadi lagi. Karena, koalisi saat ini nampaknya mengalami kerapuhan alias koalisi setengah hati. Hal ini bisa dilihat dari beberapa kebijakan yang diusung pemerintah justru mendapatkan kritikan bahkan penolakan dari partai koalisinya di parlemen. Terlepas dari apakah penolakan tersebut karena dianggap merugikan masyarakat atau tidak, namun seharusnya sebagai partner pembicaraan kebijakan tersebut seharusnya sudah final “di meja koalisi” sehingga di kursi parlemen mereka tinggal memperjuangkannya sama-sama.
Kejelasan koalisi selain akan memperkuat pemerintahan, juga akan mempermudah penilaian masyarakat dalam melihat peran parpol yang ada antara parpol pendukung pemerintah dan parpol oposisi. Sehingga masyarakat bisa dengan jelas juga dalam memberikan hukuman kepada parpol yang gagal, apakah itu parpol pendukung pemerintah atau oposisi. Tidak seperti saat ini, ketika ada kebijakan pemerintah yang dinilai gagal, partai pendukung ikut-ikutan menyalahkan pemerintah. Begitu juga dengan oposisi, nampaknya sulit untuk jujur menilai keberhasilan pemerintah.
Kondisi semacam ini tentu membahayakan nasib kehidupan bangsa. Karena yang nampak dipermukaan hanyalah pragmatisme para elit politik kita. Kedewasaan berdemokrasi kelihatannya hanya menjadi retorika belaka. Maka jangan heran bila bangsa yang besar ini masih diremehkan oleh Negara tetangga.
Oleh karena itu, untuk menghasilkan pemerintahan yang kuat, maka harus dibangun di atas koalisi yang jelas kekuatannya di parlemen. Selain itu, kita juga berharap, selain mampu membangun koalisi yang kuat di antara parpol, juga bisa sama-sama mengusung pemimpin altenatif yang bisa memberikan warna baru bagi bangsa kita. Mungkinkah itu terjadi? Kita lihat saja nanti.
Kita memang khawatir jika pemilu tahun ini tidak mampu melahirkan pemimpin alternative. Yang kuasa untuk menentukan calon pemimpin tersebut adalah partai politik yang meraih paling sedikit 25 % perolehan suara nasional. Artinya masyarakat tinggal menunggu parpol yang punya kemauan untuk mengusung pemimpin-pemimpin alternative tersebut.
Seperti permainan sepak bola, pemenang ditentukan dari tim mana yang mencetak gol terbanyak setelah peluit panjang babak kedua (terakhir). Begitu juga dengan pemilu, tidak ada satu parpolpun, baik parpol penguasa, oposisi, lebih-lebih parpol baru yang berani memastikan kemenangannya untuk pemilu 2009. Semuanya memang punya target, namun pemenang akan ditentukan setelah penghitungan suara hasil pilihan rakyat.
Saat ini beberapa parpol telah memasang calon presidennya, yang diyakini akan mampu mendongkrak pemilih untuk memberikan pilihannya kepada parpol tersbut. Sayangnya, nama-nama yang muncul tersebut adalah wajah-wajah lama dalam dunia politik kita yang juga diindikasikan gagal dalam memimpin maupun yang terlibat dalam pergumulan politik orde baru. Seperti Megawati dari PDIP, Susilo Bambang Yudoyono dari Demokrat, Wiranto dari Hanura dan Prabowo dari Gerindra.
Melihat daftar mereka, tentu belum bisa memompa semangat sebagian kita untuk menentukan siapa pemimpin kita 5 tahun kedepan. Sementara itu, Golkar sebagai pemenang pemilu tahun 2004 juga kelihatan ragu-ragu untuk segera mendeklarasikan Capresnya. Ada sinyal jika Capres Golkar diumumkan sebelum pemilu, akan rawan dengan konflik elit internalnya, yang sudah pasti akan berpengaruh di akar rumput partai beringin tersebut. Karena saat ini Golkar yang mengklaim memiliki banyak tokoh nampaknya belum satu suara untuk capresnya, bahkan di antara mereka sedang sama-sama punya niatan untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini. Seperti Yusuf Kalla, Sultan Hamengkubuwono, Surya Paloh, Akbar Tanjung, dan Fadel Muhammad.
Jika partai-partai besar ini tidak mampu menyajikan pemimpin alternative, maka partai menengah ke bawah harus berani membentuk koalisi untuk menghadirkan sesegera mungkin figure yang bisa diharapkan membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik. Namun, sangat disadari bahwa pemimpin alternative bukan berarti tidak punya hambatan. Mengingat dari beberapa hasil survey bahwa pemilih rasional tersebut ada di perkotaan yang jumlahnya lebih kecil dari pemilih tradisional. Sedangkan pemimpin alternative sangat bergantung pada pemilih rasional.
Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi calon pemimpin alternative untuk segera mungkin melakukan sosialisasi ke seluruh elemen masyarakat. Namun jika sampai saat ini saja mereka belum muncul, maka membutuhkan strategi yang mumpuni jika mereka muncul setelah pemilu nanti. Misalnya melakukan koalisi dengan calon pemimpin lama, sehingga terbentuk sebuah kombinasi yang strategis untuk mengakomodir antara pemilih rasional dengan pemilih tradisional.
Bagaimana dengan partai-partai Islam, apakah berani menampilkan pemimpin alternative tersebut? Nampaknya sampai saat ini hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Matahari Bangsa (PMB) yang berani menawarkan pemimpin alternative. PKS punya sikap untuk melahirkan pemimpin alternative yang akan ditentukan setelah pemilu legislative 2009. Penentuan tersebut akan diambil jika perolehan suaranya mencapai 20 %. Sudah ada 8 nama yang disiapkan oleh PKS, di antaranya Hidayat Nur Wahid, Tifatul Sembiring, Anis Matta dan beberapa tokoh internal lainnya yang kesemuanya di bawah umur 50 tahun. Sedangkan PMB mengusung tokoh Muhammadiyah, Din Syamsudin untuk calon presidennya.
Nama-nama tersebut memberikan angin segar bagi yang mengharapkan pemimpin alternative untuk menjadi pemimpin bangsa ini. Namun, sekali lagi selain mereka harus memperoleh suara minimal 25 %, juga harus berani membangun koalisi strategis seperti yang disebutkan di atas. Karena bagaimanapun juga, pemimpin baru saja tidak cukup tanpa diimbangi dengan kekuatan pendukung di parlemen.
Koalisi setengah hati
Belajar dari koalisi pemerintahan saat ini, untuk pemilu tahun 2009 model seperti ini tidak boleh terjadi lagi. Karena, koalisi saat ini nampaknya mengalami kerapuhan alias koalisi setengah hati. Hal ini bisa dilihat dari beberapa kebijakan yang diusung pemerintah justru mendapatkan kritikan bahkan penolakan dari partai koalisinya di parlemen. Terlepas dari apakah penolakan tersebut karena dianggap merugikan masyarakat atau tidak, namun seharusnya sebagai partner pembicaraan kebijakan tersebut seharusnya sudah final “di meja koalisi” sehingga di kursi parlemen mereka tinggal memperjuangkannya sama-sama.
Kejelasan koalisi selain akan memperkuat pemerintahan, juga akan mempermudah penilaian masyarakat dalam melihat peran parpol yang ada antara parpol pendukung pemerintah dan parpol oposisi. Sehingga masyarakat bisa dengan jelas juga dalam memberikan hukuman kepada parpol yang gagal, apakah itu parpol pendukung pemerintah atau oposisi. Tidak seperti saat ini, ketika ada kebijakan pemerintah yang dinilai gagal, partai pendukung ikut-ikutan menyalahkan pemerintah. Begitu juga dengan oposisi, nampaknya sulit untuk jujur menilai keberhasilan pemerintah.
Kondisi semacam ini tentu membahayakan nasib kehidupan bangsa. Karena yang nampak dipermukaan hanyalah pragmatisme para elit politik kita. Kedewasaan berdemokrasi kelihatannya hanya menjadi retorika belaka. Maka jangan heran bila bangsa yang besar ini masih diremehkan oleh Negara tetangga.
Oleh karena itu, untuk menghasilkan pemerintahan yang kuat, maka harus dibangun di atas koalisi yang jelas kekuatannya di parlemen. Selain itu, kita juga berharap, selain mampu membangun koalisi yang kuat di antara parpol, juga bisa sama-sama mengusung pemimpin altenatif yang bisa memberikan warna baru bagi bangsa kita. Mungkinkah itu terjadi? Kita lihat saja nanti.
Seja o primeiro a comentar
Post a Comment