Disfungsi Sosial Rumah Sakit
Ketika seorang dokter memohon rezeki pada Tuhannya,
maka bersiap-siaplah anda menjadi pasien berikutnya
(sebuah anekdot)
maka bersiap-siaplah anda menjadi pasien berikutnya
(sebuah anekdot)
Tahukah anda orang yang selalu tampak tenang dan riang ketika anda sakit, bahkan tidak hentinya memberikan anda senyuman? Ya benar, dia adalah seorang dokter. Bisa saja sikap seperti itu memang sikap standar yang harus diperlihatkan oleh seorang dokter, sebagai wujud profesional dan optimisnya akan menyembuhkan penyakit anda, sehingga bisa memberikan rasa keyakinan bahwa penyakit anda bisa disembuhkan. Tapi bisa juga senyuman itu adalah merupakan rasa syukurnya karena dengan penyakit anda maka kocek sang dokter akan segera bertambah. Apapun motif senyuman tersebut, satu hal yang paling pasti bahwa kesembuhan anda sangat ditentukan oleh seberapa besar uang yang anda miliki.
Sangat ironis dan menyayat hati ketika membaca sebuah berita utama di harian umum Nurani Rakyat edisi kamis 24 april 2008 lalu. Pasalnya berita tersebut mengisahkan tentang tragisnya nasib Sri Wahyuni yang hamil 8 bulan tewas dikarenakan kelalaian pelayanan sebuah puskesmas di gumi tatas tuhu trasna. Jika hal itu benar, maka pemerintah wajib turun tangan untuk memberikan sanksi yang tegas kepada petugas yang telah melalaikan tugasnya dengan mengorbankan dua nyawa sekaligus yakni sang ibu dan bayi yang ada di dalam kandungannya.
Seorang sahabat di kampung, Jaki Jamil, menceritakan betapa sedihnya ketika istrinya hendak melahirkan beberapa waktu yang lalu di sebuah rumah sakit milik pemerintah kabupaten Lombok Tengah. Dia menceritakan tentang lamban dan acuhnya petugas rumah sakit, padahal istrinya sudah sangat kesakitan ingin segera mengeluarkan bayi idamannya. Sikap petugas rumah sakit tersebut disebabkan karena ternyata sang suami membawa istrinya ke rumah sakit yang super megah itu hanya dengan modal selembar surat keterangan miskin dari pemerintah desa di mana dia berasal. Karena jengkel dan kecewanya dengan sikap para petugas tersebut, akhirnya di depan petugas dia merobek surat “sial” tersebut, dan meminta agar istrinya mendapatkan pelayanan yang baik berapapun biayanya. Walhasil, “super ajaib”, sikap petugas tersebut berubah 180 derajat. Senyum manis dihamburkan, sikap sopan spontan dipamerkan.
Itulah beberapa kisah sedih mayarakat yang sakit ditambah sakitnya karena sikap para medis yang tidak bersahabat. Jika dua contoh kasus tersebut terjadi di rumah sakit milik pemerintah, maka jangan tanya untuk kasus-kasus yang sering terjadi di rumah sakit atau klinik-klinik swasta. Sudah bisa dipastikan tidak bisa dihitung jumlah kesedihan dan kepedihan akan buruknya pelayanan mereka. Memang bagi anda yang berkantong tebal, apalagi masuk dalam daftar tokoh publik, pelayanan seperti tadi mustahil akan anda temukan. Rumah sakit dan klinik-klinik menyediakan bagi anda sarana yang bisa membuat anda bisa sakit dengan tenang. Ruangan rumah sakit atau klink baik milik pemerintah maupun swasta, bagi anda yang kaya telah disediakan dengan fasilitas yang lengkap. Ruangan dengan full AC, televisi berwarna dengan inci yang besar, kulkas dan kamar mandi yang wangi dan bersih, akan anda tempati. Juga tidak lupa mereka menyiapkan dokter yang telah memiliki “jam terbang” yang cukup tinggi, dilengkapi perawat yang bisa menjamin anda tetap betah di rumah sakit dengan dada yang berdegup kencang ketika tiap kali anda diperiksanya. Setiap saat anda bisa memanggil mereka, bahkan hanya untuk membersihkan mulut anda dari sisa makanan yang nempel dimulut anda. Syukurnya di pulau kita ini belum ada rumah sakit yang menyediakan ruangan karaoke. Tapi hal itu tidak menuntut kemungkinan akan diadakan oleh para “pebisnis “ rumah sakit dan klinik. Seperti yang tersedia di salah satu rumah sakit terbesar di Makassar, di mana para medis bisa melepas rasa bosannya dengan mendendangkan lagu-lau kenangan di ruang karaoke yang ada dalam rumah sakit tersebut.
Bagaimana dengan ruangan orang miskin. Jangan berharap anda akan menemukan hal yang serupa. Pemandangan anyir akan segera anda saksikan. Pasien dideretkan dalam ranjang-ranjang yang berjejer, dalam satu ruangan saja jumlah paisen bisa sampai 8 (delapan) orang, tentu dengan penyakit yang berbeda-beda. Pelayanan yang baik hanya akan menjadi impian mereka saja, dokter tidak jarang merasa malas untuk mengunjungi dan memeriksa mereka yang berada di ruangan kelas III. Sehinga perawatpun merasa bosan karena hanya merekalah yang dijadikan “budak” oleh dokter untuk memeriksa pasien miskin, maka sikap kecutpun akan segera mereka dapatkan. Bagaimana dengan kamar mandi? Sangat tidak layak, satu kamar mandi untuk pasien-pasien yang berbeda penyakit tadi. Maka bukan kesembuhan yang akan segera mereka dapatkan, melainkan rawan terkena tularan dari pasien lain. Bertambahlah penyakit mereka, dan tambah miskin pulalah mereka.
Maka satu kesimpulan yang pasti bagi saya bahwa, di rumah sakit hanya satu hal yang bisa dibedakan dalam waktu yang sangat singkat di antara pasien, yakni status sosial. Membedakan status sosial jauh lebih mudah ketimbang membedakan status penyakit antara pasien yang satu dengan pasien yang lain. Dengan cukup melihat tulisan di atas pintu ruangan pasien, kita bisa membedakan mana yang berduit tebal dan berkantong tipis. Di atas pintunya telah tertulis kata-kata seperti VIP. Ini menunjukkan orang di dalamnya adalah orang yang sedang menikmati sakitnya dengan fasilitas yang cukup lengkap. Tapi kalau anda melihat di atas pintunya tertulis kelas III, maka sudah bisa dipastikan pasien di dalamnya adalah orang-orang yang siap dengan masalah baru ketika mereka keluar dari rumah sakit, karena bisa jadi mereka menghabiskan uang pinjaman untuk menginap di ruang “pesakitan” tersebut. Karenanya, sangat tepat bila Eko Prasetyo mengatakan, “orang miskin dilarang sakit!” Hal ini menegaskan bahwa tidak ada tempat yang paling diskriminatif selain rumah sakit.
Saat ini dan untuk masa mendatang, rumah sakit menjadi garapan bisnis yang jauh lebih prospek dibandingkan dengan bisnis mall atau supermarket. Keuntungan akan selalu mengalir ke dalam kas-kas rumah sakit ataupun klinik. Karena setiap orang yang berkunjung ke rumah sakit ataupun klinik, maka sudah bisa dipastikan mereka datang untuk memeriksakan diri yang tentu uang sebagai bayarannya. Berbeda dengan mall atau supermarket. Belum tentu mereka yang datang ke tempat itu akan berbelanja. Bisa jadi mereka hanya sekedar datang untuk jalan-jalan dan melihat barang saja tanpa membeli.
Saya ingat ketika beberapa waktu lalu saya sakit. Sekitar jam 10 malam saya di bawa ke rumah sakit. Dari puskesmas, sampai rumah sakit yang ada di praya dipenuhi oleh pasien. Maka demi kesembuhan saya, orang tua dan kakak saya langsung ke mataram untuk mencari rumah sakit yang masih kosong. Malam itu, kami mendatangi empat rumah sakit sekaligus, hasilnya sama, semua ruangan telah penuh. Dan terakhir kami baru mendapatkan ruangan setelah mendatangi sebuah klinik mewah yang berada di Cakra Negara. Orang tua saya terkejut, karena klinik tersebut hanya menyediakan ruangan dengan tarif Rp 300.000 sampai Rp 1 juta dalam waktu semalam. Untungnya hasil pemeriksaan di ruang UGD menyatakan saya tidak perlu rawat inap. Maka bebaslah saya dari ancaman biaya tinggi tersebut.
Rumah sakit tidak berdiri sendiri. Apotek merupakan rekan bisnis dari rumah sakit atau klinik. “Perselingkuhan” kedua bidang bisnis ini tentu sama-sama memberikan keuntungan yang besar. Di mana apoteklah yang menyediakan berbagai jenis obat, dan dokterlah pemilik rekomendasi tertinggi untuk membeli obat yang tepat bagi pasien. Coba anda lebih jeli melihat perbedaan tarif harga antara yang menggunakan resep dokter dan tanpa menggunakan resep dokter. Anda akan mendapatkan harga dua kali lipat untuk anda yang menggunakan resep dokter, padahal jika tanpa resep dokter pada obat yang sama, anda akan mendapatkan harga yang murah. Setiap dokter memiliki masing-masing kongsi dengan apotek tertentu. Parahnya lagi dengan mitos yang berkembang di masyarakat, mengatakan bahwa tulisan dokter hanya bisa dibaca oleh dokter atau apoteker. Sehingga masyarakat tidak mau mencoba membaca tulisan resep yang diberikan seorang dokter, dan di sinilah intinya ketika resep tersebut hanya berhak dibaca oleh apoteker tempat masayarakat membeli obat, kemudian sang apoteker menuliskan nota harga yang dua kali lipat lebih tinggi dari harga biasanya. Dengan demikian, setiap resep yang ditulis dokter, di sana terdapat jatah dari harga obat yang dinaikkan harganya tersebut.
Pemerintah memang telah berupaya memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, yakni dengan menyediakan asuransi kesehatan miskin (askeskin). Dengan membawa kartu askeskin, masyarakat pemilik kartu tersebut mendapatkan pelayanan gratis. Tapai gratis itu saja tidak cukup tanpa diimbangi oleh pelayanan yang sigap, dan sopan santun para petugas rumah sakit atau puskesmas. Pelayanan yang baik itulah yang akan memberikan sugesti yang lebih besar bagi pasien yang sakit untuk mempercepat kesembuhannya.
Kini pemerintah dituntut untuk melakukan evaluasi dan pemantauan yang ketat terhadap pelayanan puskesmas ataupun rumah sakit terhadap masyarakat miskin, sehingga tidak ada lagi yang jatuh korban seperti Sri Wahyuni, ataupun seperti Jaki Jamil. Dan sanksi yang keras harus diberikan bagi pihak-pihak yang mengkebiri sikap pelayanan terhadap masyarakat miskin tersebut. Sehingga rumah sakit atau puskesmas bisa berfungsi sebagaimana yang sebenarnya, yakni memberikan pelayanan terbaik terhadap masyarakat tanpa harus membeda-bedakan status social mereka.
Sangat ironis dan menyayat hati ketika membaca sebuah berita utama di harian umum Nurani Rakyat edisi kamis 24 april 2008 lalu. Pasalnya berita tersebut mengisahkan tentang tragisnya nasib Sri Wahyuni yang hamil 8 bulan tewas dikarenakan kelalaian pelayanan sebuah puskesmas di gumi tatas tuhu trasna. Jika hal itu benar, maka pemerintah wajib turun tangan untuk memberikan sanksi yang tegas kepada petugas yang telah melalaikan tugasnya dengan mengorbankan dua nyawa sekaligus yakni sang ibu dan bayi yang ada di dalam kandungannya.
Seorang sahabat di kampung, Jaki Jamil, menceritakan betapa sedihnya ketika istrinya hendak melahirkan beberapa waktu yang lalu di sebuah rumah sakit milik pemerintah kabupaten Lombok Tengah. Dia menceritakan tentang lamban dan acuhnya petugas rumah sakit, padahal istrinya sudah sangat kesakitan ingin segera mengeluarkan bayi idamannya. Sikap petugas rumah sakit tersebut disebabkan karena ternyata sang suami membawa istrinya ke rumah sakit yang super megah itu hanya dengan modal selembar surat keterangan miskin dari pemerintah desa di mana dia berasal. Karena jengkel dan kecewanya dengan sikap para petugas tersebut, akhirnya di depan petugas dia merobek surat “sial” tersebut, dan meminta agar istrinya mendapatkan pelayanan yang baik berapapun biayanya. Walhasil, “super ajaib”, sikap petugas tersebut berubah 180 derajat. Senyum manis dihamburkan, sikap sopan spontan dipamerkan.
Itulah beberapa kisah sedih mayarakat yang sakit ditambah sakitnya karena sikap para medis yang tidak bersahabat. Jika dua contoh kasus tersebut terjadi di rumah sakit milik pemerintah, maka jangan tanya untuk kasus-kasus yang sering terjadi di rumah sakit atau klinik-klinik swasta. Sudah bisa dipastikan tidak bisa dihitung jumlah kesedihan dan kepedihan akan buruknya pelayanan mereka. Memang bagi anda yang berkantong tebal, apalagi masuk dalam daftar tokoh publik, pelayanan seperti tadi mustahil akan anda temukan. Rumah sakit dan klinik-klinik menyediakan bagi anda sarana yang bisa membuat anda bisa sakit dengan tenang. Ruangan rumah sakit atau klink baik milik pemerintah maupun swasta, bagi anda yang kaya telah disediakan dengan fasilitas yang lengkap. Ruangan dengan full AC, televisi berwarna dengan inci yang besar, kulkas dan kamar mandi yang wangi dan bersih, akan anda tempati. Juga tidak lupa mereka menyiapkan dokter yang telah memiliki “jam terbang” yang cukup tinggi, dilengkapi perawat yang bisa menjamin anda tetap betah di rumah sakit dengan dada yang berdegup kencang ketika tiap kali anda diperiksanya. Setiap saat anda bisa memanggil mereka, bahkan hanya untuk membersihkan mulut anda dari sisa makanan yang nempel dimulut anda. Syukurnya di pulau kita ini belum ada rumah sakit yang menyediakan ruangan karaoke. Tapi hal itu tidak menuntut kemungkinan akan diadakan oleh para “pebisnis “ rumah sakit dan klinik. Seperti yang tersedia di salah satu rumah sakit terbesar di Makassar, di mana para medis bisa melepas rasa bosannya dengan mendendangkan lagu-lau kenangan di ruang karaoke yang ada dalam rumah sakit tersebut.
Bagaimana dengan ruangan orang miskin. Jangan berharap anda akan menemukan hal yang serupa. Pemandangan anyir akan segera anda saksikan. Pasien dideretkan dalam ranjang-ranjang yang berjejer, dalam satu ruangan saja jumlah paisen bisa sampai 8 (delapan) orang, tentu dengan penyakit yang berbeda-beda. Pelayanan yang baik hanya akan menjadi impian mereka saja, dokter tidak jarang merasa malas untuk mengunjungi dan memeriksa mereka yang berada di ruangan kelas III. Sehinga perawatpun merasa bosan karena hanya merekalah yang dijadikan “budak” oleh dokter untuk memeriksa pasien miskin, maka sikap kecutpun akan segera mereka dapatkan. Bagaimana dengan kamar mandi? Sangat tidak layak, satu kamar mandi untuk pasien-pasien yang berbeda penyakit tadi. Maka bukan kesembuhan yang akan segera mereka dapatkan, melainkan rawan terkena tularan dari pasien lain. Bertambahlah penyakit mereka, dan tambah miskin pulalah mereka.
Maka satu kesimpulan yang pasti bagi saya bahwa, di rumah sakit hanya satu hal yang bisa dibedakan dalam waktu yang sangat singkat di antara pasien, yakni status sosial. Membedakan status sosial jauh lebih mudah ketimbang membedakan status penyakit antara pasien yang satu dengan pasien yang lain. Dengan cukup melihat tulisan di atas pintu ruangan pasien, kita bisa membedakan mana yang berduit tebal dan berkantong tipis. Di atas pintunya telah tertulis kata-kata seperti VIP. Ini menunjukkan orang di dalamnya adalah orang yang sedang menikmati sakitnya dengan fasilitas yang cukup lengkap. Tapi kalau anda melihat di atas pintunya tertulis kelas III, maka sudah bisa dipastikan pasien di dalamnya adalah orang-orang yang siap dengan masalah baru ketika mereka keluar dari rumah sakit, karena bisa jadi mereka menghabiskan uang pinjaman untuk menginap di ruang “pesakitan” tersebut. Karenanya, sangat tepat bila Eko Prasetyo mengatakan, “orang miskin dilarang sakit!” Hal ini menegaskan bahwa tidak ada tempat yang paling diskriminatif selain rumah sakit.
Saat ini dan untuk masa mendatang, rumah sakit menjadi garapan bisnis yang jauh lebih prospek dibandingkan dengan bisnis mall atau supermarket. Keuntungan akan selalu mengalir ke dalam kas-kas rumah sakit ataupun klinik. Karena setiap orang yang berkunjung ke rumah sakit ataupun klinik, maka sudah bisa dipastikan mereka datang untuk memeriksakan diri yang tentu uang sebagai bayarannya. Berbeda dengan mall atau supermarket. Belum tentu mereka yang datang ke tempat itu akan berbelanja. Bisa jadi mereka hanya sekedar datang untuk jalan-jalan dan melihat barang saja tanpa membeli.
Saya ingat ketika beberapa waktu lalu saya sakit. Sekitar jam 10 malam saya di bawa ke rumah sakit. Dari puskesmas, sampai rumah sakit yang ada di praya dipenuhi oleh pasien. Maka demi kesembuhan saya, orang tua dan kakak saya langsung ke mataram untuk mencari rumah sakit yang masih kosong. Malam itu, kami mendatangi empat rumah sakit sekaligus, hasilnya sama, semua ruangan telah penuh. Dan terakhir kami baru mendapatkan ruangan setelah mendatangi sebuah klinik mewah yang berada di Cakra Negara. Orang tua saya terkejut, karena klinik tersebut hanya menyediakan ruangan dengan tarif Rp 300.000 sampai Rp 1 juta dalam waktu semalam. Untungnya hasil pemeriksaan di ruang UGD menyatakan saya tidak perlu rawat inap. Maka bebaslah saya dari ancaman biaya tinggi tersebut.
Rumah sakit tidak berdiri sendiri. Apotek merupakan rekan bisnis dari rumah sakit atau klinik. “Perselingkuhan” kedua bidang bisnis ini tentu sama-sama memberikan keuntungan yang besar. Di mana apoteklah yang menyediakan berbagai jenis obat, dan dokterlah pemilik rekomendasi tertinggi untuk membeli obat yang tepat bagi pasien. Coba anda lebih jeli melihat perbedaan tarif harga antara yang menggunakan resep dokter dan tanpa menggunakan resep dokter. Anda akan mendapatkan harga dua kali lipat untuk anda yang menggunakan resep dokter, padahal jika tanpa resep dokter pada obat yang sama, anda akan mendapatkan harga yang murah. Setiap dokter memiliki masing-masing kongsi dengan apotek tertentu. Parahnya lagi dengan mitos yang berkembang di masyarakat, mengatakan bahwa tulisan dokter hanya bisa dibaca oleh dokter atau apoteker. Sehingga masyarakat tidak mau mencoba membaca tulisan resep yang diberikan seorang dokter, dan di sinilah intinya ketika resep tersebut hanya berhak dibaca oleh apoteker tempat masayarakat membeli obat, kemudian sang apoteker menuliskan nota harga yang dua kali lipat lebih tinggi dari harga biasanya. Dengan demikian, setiap resep yang ditulis dokter, di sana terdapat jatah dari harga obat yang dinaikkan harganya tersebut.
Pemerintah memang telah berupaya memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, yakni dengan menyediakan asuransi kesehatan miskin (askeskin). Dengan membawa kartu askeskin, masyarakat pemilik kartu tersebut mendapatkan pelayanan gratis. Tapai gratis itu saja tidak cukup tanpa diimbangi oleh pelayanan yang sigap, dan sopan santun para petugas rumah sakit atau puskesmas. Pelayanan yang baik itulah yang akan memberikan sugesti yang lebih besar bagi pasien yang sakit untuk mempercepat kesembuhannya.
Kini pemerintah dituntut untuk melakukan evaluasi dan pemantauan yang ketat terhadap pelayanan puskesmas ataupun rumah sakit terhadap masyarakat miskin, sehingga tidak ada lagi yang jatuh korban seperti Sri Wahyuni, ataupun seperti Jaki Jamil. Dan sanksi yang keras harus diberikan bagi pihak-pihak yang mengkebiri sikap pelayanan terhadap masyarakat miskin tersebut. Sehingga rumah sakit atau puskesmas bisa berfungsi sebagaimana yang sebenarnya, yakni memberikan pelayanan terbaik terhadap masyarakat tanpa harus membeda-bedakan status social mereka.
Seja o primeiro a comentar
Post a Comment