My Lost Dream
Sejak lama aku sering mengatakan kepada mereka, baik ketika aku menjadi pembicara di sebuah diskusi kecil maupun momen lainnya bahwa mimpi adalah jiwa kehidupan. Maka bermimpilah, yang tinggi, yang banyak, karena kalian tidak perlu membayar untuk bermimpi. Mimpi itu gratis, kawan.. Kataku..
Tidak hanya satu, banyak, banyak sekali mimpi-mimpiku baik yang aku abadikan dalam lembaran kertas yang aku tempel di dinding kamar, maupun yang terus masih ku susun rapi di dalam memoriku. Mimpi-mimpi inipun tidak hanya sekedar mimpi kosong tanpa isi. Aku ingin menunjukkan bahwa bermimpi juga punya aturan main yang harus dilakukan, paling tidak disertai oleh perencanaan yang matang, penuh perhitungan dan tanggung jawab. Hal itu aku lakukan. Apa hasilnya?
Satu persatu mimpi itu mulai aku bawa keluar. Aku diskusikan dengan orang-orang terdekatku. Aku susun rencana yang sangat matang, penuh perhitungan dan tanggung jawab. Dan di episode inilah mimpi-mimpi itu mulai berguguran.
Tidak pernah terbayangkan akan seperti ini. Padahal sekali lagi semuanya sangat matang, penuh perhitungan dan tanggung jawab. Pembahasannyapun panjang, berminggu minggu, bahkan lebih. Tapi tempat ini, lingkungan ini, tepatnya keluargaku ternyata tidak menyediakan ruang untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu. Ya, sekarang kesadaranku berada pada titik tertinggi bahwa aku harus akui sebagian besar dari keluargaku masih sangat konservatif. Sulit untuk menerima hal-hal yang baru dan lebih berani. Maka, akupun kehilangan mimpi.