Sunday, January 18, 2009

Gaza Markaz Syuhada

5 Oktober 2008, hari yang tidak pernah saya duga-duga menjadi hari yang bersejarah bagi kehidupan keluarga kami. Sehari sebelumnya, kehamilan istri yang sudah masuk sembilan bulan menemukan momentumnya. Tidak diduga, perkiraan dokter bahwa dia akan melahirkan 2 minggu kedepan. Namun pagi itu, 4 Oktober 2008, pukul 7 pagi, perut buncitnya merasakan kesakitan sebagai pertanda akan segera melahirkan.

Bingung, tentu saja menggaluti perasaan kami. Maklum ini peristiwa pertama yang kami alami. Tapi untungnya, ada mertua (ibu dari istri) yang menenangkan kami. Saya segera menghubungi klinik bersalin di Selong yang memang sudah kami rencanakan untuk melahirkan di sana. Masalahnya, hari itu adalah hari keempat lebaran Idul Fitri sehingga dokter bersalin (dokter Nuring) yang merupakan satu-satunya dokter bersalin perempuan di NTB masih di kampungnya, Jawa. Hal itu mengendorkan niat saya untuk membawanya kesana.

Dalam kondisi seperti itu, akhirnya pilihan taktis harus segera kami ambil, membawa dia ke bidan setempat. Setelah diperiksa oleh bidan yang bersangkutan, bidan tersebut memprediksikan bahwa dia akan melahirkan malam nanti, kami disarankan untuk pulang dan menunggu waktunya di rumah.

Malampun tiba, perutnya semakin kesakitan. Kembali kami ke bidan. Prediksi bidan Dia akan melahirkan tengah malam dan kami memutuskan untuk menunggu waktu kelahirannya di tempat praktek sang bidan.

Ketegangan mulai terasa saat-saat belum nampak tanda-tanda buah hati kami akan lahir, padahal jeritan Istri yang tertahankan menggambarkan kesakitan yang tak terkira, sementara waktu terus berjalan sampi subuh pun tiba.

Dengan wajah yang berusaha nampak ditegarkan, bidan mengatakan kalo bayinya mengalami penyempitan sehingga harus segera dibawa ke Puskesmas untuk di vakum. Ibu mertua menolak, Dia minta agar langsung di bawa ke Rumah Sakit Selong yang berjarak kurang lebih 17 kilo meter. Tanpa ada perdebatan, kami langsung bergerak menuju rumah sakit. Istri dibawa di sebuah mobil angkot karena ambulans setempat sedang dipakai pegawai Puskesmas untuk menjemput dokternya di bandara yang baru habis mudik.

Saya mengikuti mobil tersebut dari belakang dengan peuh kecemasan. Air mata bercucuran, tangan terus menancap gas sepeda motor yang saya gunakan, dan do’a-do’a tak terhentikan terucap berharap istri dan anak selamat.

Kecewa, dokter di rumah sakit tersebut juga masih mudik. Perawatnya menyarankan agar kami ke Mataram. Mungkinkah? Sementara ketuban telah sempurna pecah jam 3 pagi tadi, sementara jam ditangan saat itu menunjukkan pukul 7 pagi. Jarak Selong ke Mataram kurang lebih 80 kilo meter. ini tidak mungkin saya lakukan.

Klinik, ya, akhirnya klinik yang sehari sebelumnya saya hubungi menjadi tambatan terakhir kami. Syukur, dokternya tidak ikut-ikutan mudik sehingga ada harapan besar bagi kami untuk menyelamatkan istri dan bayi yang masih ada di kandungannya.

Sekitar 1 jam di dalam ruang bersalin, dokternyapun akhirnya muncul dan mendekatiku. Dia memberikan pilihan untuk melahirkan bayi tersebut, yakni antara vakum atau dioperasi. Dia juga menjelaskan resiko vakum yang cukup mengkahawatirkan, bila mampu lahir salah satu resikonya jika anaknya dewasa nanti adalah idiot, atau yang terburuk kepala bayi bisa terputus oleh vakum karena kondisinya memang sangat tidak memungkinkan untuk divakum. Dengan tegas saya memilih untuk dioperasi. Prosesnyapun dijalani.

Butuh darah 2 kantong. Syukurnya golongan darah kami sama, sehingga tidak terlalu meyulitkan untuk mencari pendonor, meskipun begitu saya tidak yakin di PMI akan tersedia darah yang cukup. Khairul, teman dari Lombok Timur saya hubungi, dia juga memiliki golongan darah yang sama. Namun karena dia dinyatakan tidak layak untuk donor, akhirnya hanya saya yang langsung mendonor, dan itu cukup ditambah satu stok kantong yang tersedia di PMI.

Pukul 09.20 Wita, berita gembira. Khairul yang saya minta untuk terlebih dahulu ke klinik mengantarkan darah dari PMI, sementara saya mendonor, mengabarkan bahwa putra kami telah lahir dengan berat 3 kilo 200 gram. Alhamdulillah, sekalipun tidak bisa mendengarkan tangisan pertama saat dia lahir ke dunia yang fana ini, saya sangat bersyukur karena bayi lahir sempurna dan istri selamat.

Gaza Markaz Syuhada Ramen, adalah nama untuk anak pertama kami sekaligus do’a abadi untuk dia, karena bagi kami, nama adalah do’a. Nama tersebut telah jauh hari kami siapkan. Nama tersebut penuh dengan spirit ideologi. Sangat gampang untuk diterjemahkan, Gaza (nama salah satu kota di Palestina) Markaz (tempat) Syuhada (Mati Syahid) Ramen (nama besar keluarga kami). Dan kenyataannya, Gaza memang dari dulu sejak Israel mencaplok tanah Palestina sampai hari ini, para mujahid terus menemui kesyahidannya di tanah Palestina termasuk di kota Gaza.

Anakku, semoga engkau menjadi Mujahid sejati yang akan menemukan kesyahidanmu. Amiin.


Friday, January 16, 2009

Antara Sepatu Al-Zaidi dan Wendi?!

Sepatu menjadi populer saat ini. Hal tersebut bermula dari pelemparan sepatu seorang wartawan Iraq, Al-Zaidi ke muka Presiden AS, Bush.

Tapi cerita ini tentang sepatuku, bukan sepatu Al-Zaidi. Berikut beritanya yang ditulis oleh wartawan koran Nurani Rakyat, Kurniawan.


Musholla Kantor Bupati Jadi Sasaran Maling Sepatu
LOMBOK TENGAH (NR)-Setiap staf maupun pejabat yang akan melaksanakan sholat Djuhur di Musholla yang terdapat di lingkungan kantor Bupati Lombok Tengah, saat ini harus mulai waspada.
Pasalnya, hari kamis (15/1) kemarin staf pada bagian humas dan protokol bernama wendi usai melaksanakan sholat dzuhur,harus kehilangan sepatu yg baru dua minggu ia beli. Anehnya, si pencuri hanya meninggalkan kaos kakinya yang mungkin menurut pencuri itu baunya tidak karuan.
Sebelumnya Wendy mengira kalau temannya yang jahil menyembunyikan sepatunya, namun setalah beberapa saat dilakukan pencarian, sepatu kebanggaannya itu tidak juga ditemui. Akhirnya Wendy bersama rekan–rekannya menyimpulkan kalau sepatu seharga kurang lebih Rp 200 ribu itu di embat oleh si maling.
“Saya baru habis sholat Djuhur berjamaah, tiba-tiba sepatu saya tidak ada dan hanya tinggal kaos kaki saja ,”ungkapnya pada rekan-rekannya di dalam ruangan Humas dan Protokol.
Yang membuat Wendi menjadi cukup terhibur, banyak rekan-rekannya yang menawarkan diri untuk memberikan jasa dengan memberikan Wendy pinjaman sandal atau sepatu sebelum pulang ke Prako, tetapi semua tawaran itu ditolak oleh Wendy, dan ia harus rela menggunakan sandal jepit yang dipinjamnya dari ruangan Forum Wartawan.
Menurut salah seorang staf di kantor Bupati menyebutkan, kejadian kehilangan di Musholla tersebut tidak kali ini saja terjadi, melainkan kotak amal di Musholla tersebut sudah kurang lebih dua kali dibobol.
Sementara itu, Kasubag Protokol yang geram akibat perbuatan si pencuri, meminta agar pencuri tersebut sekali kali diintip siapa yang memiliki perbuatan. Kalau sudah ketemu, pencuri iu di telanjangi dengan mengelilingi kantor Bupati.
“Biar kapok,coba kita intip siapa pelakunya,kalau ketemu pencuri itu kita telanjangi dan kita putar dia di kantor Bupati ini,” tandasnya.(nr 04).

Adakah hubungan antara tragedi sepatu Al-Zaidi dengan tragedi kehilangan sepatu Wendi?
hehe...mungkin si maling mau menggunakan sepatu itu untuk melempar pemimpin di negeri ini yang tidak becus...Upzzz...


Tuesday, January 06, 2009

Target 1430 / 2009

Tahun 1430/2009 telah menjelang. Segeralah berhijrah menuju kehidupan yang lebih baik. Buat perencanaan yang matang disertai dengan target-target yang ingin dicapai.
Hal tersebut kita lakukan karena biasanya Setiap perubahan tahun dijadikan moment untuk berbenah diri. Bertekad untuk menjadi lebih baik dari tahun sebelumnya, karena kalau tidak ada perubahan yang berarti, maka kita berada dalam kerugian.

Nah, untuk saya sendiri target tahun 2009 ini sederhana saja, yakni :

  • Membuat paling kurang 100 artikel yang dimuat di media cetak.
  • Memperbanyak koleksi buku Rumah Detak dan mengokohkan tekad membangun Rumah Detak.
  • Mempelancar bahasa Inggris.
  • Meningkatkan romantisme keluarga bersama istri dan anak pertama kami Gaza Markaz syuhada Ramen.
Semoga target-target ini tercapai. Amiin.

Disfungsi Sosial Rumah Sakit

Ketika seorang dokter memohon rezeki pada Tuhannya,
maka bersiap-siaplah anda menjadi pasien berikutnya
(sebuah anekdot)
Tahukah anda orang yang selalu tampak tenang dan riang ketika anda sakit, bahkan tidak hentinya memberikan anda senyuman? Ya benar, dia adalah seorang dokter. Bisa saja sikap seperti itu memang sikap standar yang harus diperlihatkan oleh seorang dokter, sebagai wujud profesional dan optimisnya akan menyembuhkan penyakit anda, sehingga bisa memberikan rasa keyakinan bahwa penyakit anda bisa disembuhkan. Tapi bisa juga senyuman itu adalah merupakan rasa syukurnya karena dengan penyakit anda maka kocek sang dokter akan segera bertambah. Apapun motif senyuman tersebut, satu hal yang paling pasti bahwa kesembuhan anda sangat ditentukan oleh seberapa besar uang yang anda miliki.

Sangat ironis dan menyayat hati ketika membaca sebuah berita utama di harian umum Nurani Rakyat edisi kamis 24 april 2008 lalu. Pasalnya berita tersebut mengisahkan tentang tragisnya nasib Sri Wahyuni yang hamil 8 bulan tewas dikarenakan kelalaian pelayanan sebuah puskesmas di gumi tatas tuhu trasna. Jika hal itu benar, maka pemerintah wajib turun tangan untuk memberikan sanksi yang tegas kepada petugas yang telah melalaikan tugasnya dengan mengorbankan dua nyawa sekaligus yakni sang ibu dan bayi yang ada di dalam kandungannya.

Seorang sahabat di kampung, Jaki Jamil, menceritakan betapa sedihnya ketika istrinya hendak melahirkan beberapa waktu yang lalu di sebuah rumah sakit milik pemerintah kabupaten Lombok Tengah. Dia menceritakan tentang lamban dan acuhnya petugas rumah sakit, padahal istrinya sudah sangat kesakitan ingin segera mengeluarkan bayi idamannya. Sikap petugas rumah sakit tersebut disebabkan karena ternyata sang suami membawa istrinya ke rumah sakit yang super megah itu hanya dengan modal selembar surat keterangan miskin dari pemerintah desa di mana dia berasal. Karena jengkel dan kecewanya dengan sikap para petugas tersebut, akhirnya di depan petugas dia merobek surat “sial” tersebut, dan meminta agar istrinya mendapatkan pelayanan yang baik berapapun biayanya. Walhasil, “super ajaib”, sikap petugas tersebut berubah 180 derajat. Senyum manis dihamburkan, sikap sopan spontan dipamerkan.

Itulah beberapa kisah sedih mayarakat yang sakit ditambah sakitnya karena sikap para medis yang tidak bersahabat. Jika dua contoh kasus tersebut terjadi di rumah sakit milik pemerintah, maka jangan tanya untuk kasus-kasus yang sering terjadi di rumah sakit atau klinik-klinik swasta. Sudah bisa dipastikan tidak bisa dihitung jumlah kesedihan dan kepedihan akan buruknya pelayanan mereka. Memang bagi anda yang berkantong tebal, apalagi masuk dalam daftar tokoh publik, pelayanan seperti tadi mustahil akan anda temukan. Rumah sakit dan klinik-klinik menyediakan bagi anda sarana yang bisa membuat anda bisa sakit dengan tenang. Ruangan rumah sakit atau klink baik milik pemerintah maupun swasta, bagi anda yang kaya telah disediakan dengan fasilitas yang lengkap. Ruangan dengan full AC, televisi berwarna dengan inci yang besar, kulkas dan kamar mandi yang wangi dan bersih, akan anda tempati. Juga tidak lupa mereka menyiapkan dokter yang telah memiliki “jam terbang” yang cukup tinggi, dilengkapi perawat yang bisa menjamin anda tetap betah di rumah sakit dengan dada yang berdegup kencang ketika tiap kali anda diperiksanya. Setiap saat anda bisa memanggil mereka, bahkan hanya untuk membersihkan mulut anda dari sisa makanan yang nempel dimulut anda. Syukurnya di pulau kita ini belum ada rumah sakit yang menyediakan ruangan karaoke. Tapi hal itu tidak menuntut kemungkinan akan diadakan oleh para “pebisnis “ rumah sakit dan klinik. Seperti yang tersedia di salah satu rumah sakit terbesar di Makassar, di mana para medis bisa melepas rasa bosannya dengan mendendangkan lagu-lau kenangan di ruang karaoke yang ada dalam rumah sakit tersebut.

Bagaimana dengan ruangan orang miskin. Jangan berharap anda akan menemukan hal yang serupa. Pemandangan anyir akan segera anda saksikan. Pasien dideretkan dalam ranjang-ranjang yang berjejer, dalam satu ruangan saja jumlah paisen bisa sampai 8 (delapan) orang, tentu dengan penyakit yang berbeda-beda. Pelayanan yang baik hanya akan menjadi impian mereka saja, dokter tidak jarang merasa malas untuk mengunjungi dan memeriksa mereka yang berada di ruangan kelas III. Sehinga perawatpun merasa bosan karena hanya merekalah yang dijadikan “budak” oleh dokter untuk memeriksa pasien miskin, maka sikap kecutpun akan segera mereka dapatkan. Bagaimana dengan kamar mandi? Sangat tidak layak, satu kamar mandi untuk pasien-pasien yang berbeda penyakit tadi. Maka bukan kesembuhan yang akan segera mereka dapatkan, melainkan rawan terkena tularan dari pasien lain. Bertambahlah penyakit mereka, dan tambah miskin pulalah mereka.

Maka satu kesimpulan yang pasti bagi saya bahwa, di rumah sakit hanya satu hal yang bisa dibedakan dalam waktu yang sangat singkat di antara pasien, yakni status sosial. Membedakan status sosial jauh lebih mudah ketimbang membedakan status penyakit antara pasien yang satu dengan pasien yang lain. Dengan cukup melihat tulisan di atas pintu ruangan pasien, kita bisa membedakan mana yang berduit tebal dan berkantong tipis. Di atas pintunya telah tertulis kata-kata seperti VIP. Ini menunjukkan orang di dalamnya adalah orang yang sedang menikmati sakitnya dengan fasilitas yang cukup lengkap. Tapi kalau anda melihat di atas pintunya tertulis kelas III, maka sudah bisa dipastikan pasien di dalamnya adalah orang-orang yang siap dengan masalah baru ketika mereka keluar dari rumah sakit, karena bisa jadi mereka menghabiskan uang pinjaman untuk menginap di ruang “pesakitan” tersebut. Karenanya, sangat tepat bila Eko Prasetyo mengatakan, “orang miskin dilarang sakit!” Hal ini menegaskan bahwa tidak ada tempat yang paling diskriminatif selain rumah sakit.

Saat ini dan untuk masa mendatang, rumah sakit menjadi garapan bisnis yang jauh lebih prospek dibandingkan dengan bisnis mall atau supermarket. Keuntungan akan selalu mengalir ke dalam kas-kas rumah sakit ataupun klinik. Karena setiap orang yang berkunjung ke rumah sakit ataupun klinik, maka sudah bisa dipastikan mereka datang untuk memeriksakan diri yang tentu uang sebagai bayarannya. Berbeda dengan mall atau supermarket. Belum tentu mereka yang datang ke tempat itu akan berbelanja. Bisa jadi mereka hanya sekedar datang untuk jalan-jalan dan melihat barang saja tanpa membeli.

Saya ingat ketika beberapa waktu lalu saya sakit. Sekitar jam 10 malam saya di bawa ke rumah sakit. Dari puskesmas, sampai rumah sakit yang ada di praya dipenuhi oleh pasien. Maka demi kesembuhan saya, orang tua dan kakak saya langsung ke mataram untuk mencari rumah sakit yang masih kosong. Malam itu, kami mendatangi empat rumah sakit sekaligus, hasilnya sama, semua ruangan telah penuh. Dan terakhir kami baru mendapatkan ruangan setelah mendatangi sebuah klinik mewah yang berada di Cakra Negara. Orang tua saya terkejut, karena klinik tersebut hanya menyediakan ruangan dengan tarif Rp 300.000 sampai Rp 1 juta dalam waktu semalam. Untungnya hasil pemeriksaan di ruang UGD menyatakan saya tidak perlu rawat inap. Maka bebaslah saya dari ancaman biaya tinggi tersebut.

Rumah sakit tidak berdiri sendiri. Apotek merupakan rekan bisnis dari rumah sakit atau klinik. “Perselingkuhan” kedua bidang bisnis ini tentu sama-sama memberikan keuntungan yang besar. Di mana apoteklah yang menyediakan berbagai jenis obat, dan dokterlah pemilik rekomendasi tertinggi untuk membeli obat yang tepat bagi pasien. Coba anda lebih jeli melihat perbedaan tarif harga antara yang menggunakan resep dokter dan tanpa menggunakan resep dokter. Anda akan mendapatkan harga dua kali lipat untuk anda yang menggunakan resep dokter, padahal jika tanpa resep dokter pada obat yang sama, anda akan mendapatkan harga yang murah. Setiap dokter memiliki masing-masing kongsi dengan apotek tertentu. Parahnya lagi dengan mitos yang berkembang di masyarakat, mengatakan bahwa tulisan dokter hanya bisa dibaca oleh dokter atau apoteker. Sehingga masyarakat tidak mau mencoba membaca tulisan resep yang diberikan seorang dokter, dan di sinilah intinya ketika resep tersebut hanya berhak dibaca oleh apoteker tempat masayarakat membeli obat, kemudian sang apoteker menuliskan nota harga yang dua kali lipat lebih tinggi dari harga biasanya. Dengan demikian, setiap resep yang ditulis dokter, di sana terdapat jatah dari harga obat yang dinaikkan harganya tersebut.

Pemerintah memang telah berupaya memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, yakni dengan menyediakan asuransi kesehatan miskin (askeskin). Dengan membawa kartu askeskin, masyarakat pemilik kartu tersebut mendapatkan pelayanan gratis. Tapai gratis itu saja tidak cukup tanpa diimbangi oleh pelayanan yang sigap, dan sopan santun para petugas rumah sakit atau puskesmas. Pelayanan yang baik itulah yang akan memberikan sugesti yang lebih besar bagi pasien yang sakit untuk mempercepat kesembuhannya.

Kini pemerintah dituntut untuk melakukan evaluasi dan pemantauan yang ketat terhadap pelayanan puskesmas ataupun rumah sakit terhadap masyarakat miskin, sehingga tidak ada lagi yang jatuh korban seperti Sri Wahyuni, ataupun seperti Jaki Jamil. Dan sanksi yang keras harus diberikan bagi pihak-pihak yang mengkebiri sikap pelayanan terhadap masyarakat miskin tersebut. Sehingga rumah sakit atau puskesmas bisa berfungsi sebagaimana yang sebenarnya, yakni memberikan pelayanan terbaik terhadap masyarakat tanpa harus membeda-bedakan status social mereka.

Sunday, January 04, 2009

Gaza dalam Tangisan

Kebiadaban Israel tak tanggung-tanggung. Buta dengan segala protes, tuli dengan jeritan anak-anak Gaza yang terbantai. Para serdadu terlaknat itu terus menyerbu dan menjatuhkan berton-ton bom ke tanah bumu para nabi tersebut.

Pemerintah negara-negara arab bungkam, hanya mengutuk yang bisa mereka lakukan, sama halnya seperti PBB. Mandul, tak berdaya di bawah kangkangan Amerika. Mereka pengecut, lantas untuk apa mereka ada?
Saatnya umat Islam bersatu. Jangan biarkan anak-anak Gaza kehilangan orang tuanya dan kehilangan nyawanya. Doakan mereka untuk tetap kuat dan melawan gempuran Zionis Yahudi. Doakan Hamas yang tak pernah takut dengan kematian.
Jika saja kita bersatu, maka Amerika apalagi Israel, tidak akan pernah berani berkutik sedikitpun. Bersatulah....

1430 dan 2009

2 awal tahun baru telah kita lalui.
Di awal tahun ini, aku akan coba mulai mengisi blog yang telah lama tak tersentuh.
Semoga eksis

Followers

  ©Napas Syahadat. Template by Dicas Blogger.

TOPO